Seputar Sambas

2010/01/27

Sejarah Asal Usul Sambas

Filed under: Uncategorized — Tags: — jimmysie @ 7:03 am

Keraton Al-Watzikhoebillah SambasKeraton Al-Watzikhoebillah Sambas

Kompleks Keraton Al-Watzikhoebillah SambasKompleks Keraton Al-Watzikhoebillah Sambas

Kompleks Keraton Al-Watzikhoebillah Sambas Masa LaluKompleks Keraton Al-Watzikhoebillah Sambas Masa Lalu

Masjid Jami Kesultanan SambasMasjid Jami Kesultanan Sambas

Masjid Jami Kesultanan Sambas Masa LaluMasjid Jami Kesultanan Sambas Masa Lalu

Sejarah Asal Usul Sambas

Sejarah tentang asal usul kerajaan Sambas tidak bisa terlepas dari Kerajaan di Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat.

Pada jaman dahulu, di Negeri Brunei Darussalam, bertahtalah seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada anak cucunya secara turun temurun. Sampailah pada keturunan yang kesembilan yaitu Sultan AbdulDjalil Akbar. Beliau mempunyai putra yang bernama sultan Raja Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kerajaan Tanjungpura (Sukadana). Karena prilaku dan tata kramanya sesuai dengan keadaan sekitarnya, beliau disegani bahkan Raja Tanjungpura rela mengawinkan dengan anaknya bernama ratu Surya. Dari perkawinan ini terlahirlah Raden Sulaiman. Saat itu di Sambas memerintah seorang ratu keturunan Majapahit (Hinduisme) bernama Ratu Sepudak dengan pusat pemerintahannya di Kota Lama kecamatan Telok Keramat sekitar 36 Km dari Kota Sambas. Baginda Ratu Sepudak dikaruniai dua orang putri. Yang sulung dikawinkan dengan kemenakan Ratu Sepudak bernama raden Prabu Kencana dan ditetapkan menjadi penggantinya. Ketika Ratu Sepudak memerintah, tibalah raja Tengah beserta rombongannya di Sambas. Kemudian banyak rakyat menjadi pengikutnya dan memeluk agama Islam.

Tak berapa lama, Ratu Sepudak wafat. Menantunya Raden Prabu Kencana naik tahtadan memerintah dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Pada peristiwa bersamaan putri kedua Ratu Sepudak yang bernama Mas Ayu Bungsu kawin dengan Raden Sulaiman (Putera sulung Raja Tengah. Perkawinan ini dikaruniai seorang putera bernama Raden Boma. Dalam pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda, diangkatlah pembantu-pembantu Administrasi kerajaan. Adik kandungnya bernama Pangeran Mangkurat ditunjuk sebagai Wazir Utama. Bertugas khusus mengurus perbendaharaan raja, terkadang juga mewakili raja. Raden Sulaiman ditunjuk menjadi Wazir kedua yang khusus mengurus dalam dan luar negeri dan dibantu menteri-menteri dan petinggi lainnya. Rakyat lebih menghargai Raden Sulaiman daripada Pangeran Mangkurat, hingga menimbulkan rasa iri di hati Pangeran Mangkurat.

Suatu ketika tangan kanan Raden Sulaiman bernama Kyai Satia Bakti dibunuh pengikut Pangeran Mangkurat. setelah dilaporkan kepada raja, ternyata tak ada tindakan positif, suasana makin keruh. Raden Sulaiaman mengambil kebijaksanaan meninggalkan pusat kerajaan, menuju daerah baru dan mendirikan sebuah kota dengan nama Kota bangun. Jumlah pengikutnyapun makin banyak. Hal ini telah mengajak Petinggi Nagur, Bantilan dan Segerunding mengusulkan untuk berunding dengan Ratu Anom Kesuma Yuda. Hasil mufakat keduanya meninggalkan kota lama. Raden Sulaiman menuju kota Bandir dan Ratu Anom Kesuma Yuda berangkat menuju sungai Selakau. Kemudian agak ke hulu dan mendirikan kota dengan ibukota pemerintahannya diberi nama Kota Balai Pinang.

Meninggalnya Ratu Anom Kesuma Yuda dan Pangeran Mangkurat, putera Ratu Anom yang bernama Raden Bekut diangkat menjadi raja dengan gelar Panembahan Kota Balai. Beliau beristrikan Mas Ayu Krontiko, puteri Pangeran Mangkurat. Raden Mas Dungun putera raden Bekut adalah Panembahan terakhir Kota Balai. Kerajaan ini berakhir karena utusan Raden Sulaiman menjemput mereka kembali ke Sambas. Kurang lebih 3 tahun kemudian berdiam di Kota Bandir, atas hasil mufakat, berpindahlah mereka dan mendirikan pusat pemerintahannya di Lubuk Madung, pada persimpangan tiga sungai : sungai Sambas Kecil, Sungai Subah dan Sungai Teberau. Kota ini juga disebut orang ”Muara Ulakan”. Kemudian keraton kerajaan dibangun dan hingga kini masih berdiri megah.

Di tempat inilah raden sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Pertama di kerajaan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin I. Saudara-saudaranya, Raden Badaruddin digelar pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Raden Abdul Wahab di gelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma. Raden Bima (anak Raden Sulaiman) ke Sukadana dan kawin dengan puteri raja Tanjungpura bernama Puteri Indra Kesuma (adik bungsu Sultan Zainuddin) dan dikaruniai seorang putera diberinama Raden Meliau, nama yang terambil dari nama sungai di Sukadana. Setahun kemudian merka pamit ke hadapan Sultan Zaiuddin untuk pulang ke Sambas, oleh Raden Sulaiman dititahkan berangkat ke Negeri Brunai untuk menemui kaum keluarga. Sekembalinya dari Brunai, Raden Bima dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Tadjuddin. Bersamaan dengan itu, Raden Akhmad putera Raden Abdu Wahab dilantik menjadi Pangeran Bendahara Sri Maharaja. Wafatnya Sultan Muhammad Tadjuddin, pemerintahan dilanjutkan Puteranya Raden Meliau dengan gelar Sultan Umar Akamuddin I.

Berkat bantuan permaisurinya bernama Utin Kemala bergelar Ratu Adil, pemerintahan berjalan lancar dan adil. Inilah sebabnya dalam sejarah Sambas terkenal dengan sebutan Marhum Adil, Utin Kemala adalah puteri dari pangeran Dipa (seorang bangsawan kerajaan Landak) dengan Raden Ratna Dewi (puteri Sultan Muhammad Syafeiuddin I).

Wafatnya Sultan Umar Akamuddin I, Puteranya Raden Bungsu naik tahta dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin. Kemudian diganti oleh Abubakar Tadjuddin I. Berganti pula dengan Raden Pasu yang lebih terkenal dengan nama Pangeran Anom. Setelah naik tahta beliau bergelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I. Sebagai wakilnya diangkatlah Sultan Usman Kamaluddin dan Sultan Umar Akamuddin III. Pangeran Anom dicatat sebagai tokoh yang sukar dicari tandingannya, penumpas perampok lanun. Setelah memerintah kira-kira 13 tahun (1828), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I wafat. Puteranya Raden Ishak (Pangeran Ratu Nata Kesuma)baru berumur 6 tahun. Karena itu roda pemerintahan diwakilikan kepada Sultan Usman Kamaluddin.

Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishak dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Syafeiuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati. Tahun 1855 Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (Kembali ke Sambas tahun 1879). Maka sebagai wakil ditunjuklah Raden Toko’ (Pangeran Ratu Mangkunegara) dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Pada tahun itu juga atas perintah Belanda, Pangeran Adipati diberangkatkan ke Jawa untuk study.

Tahun 1861 Pangeran Adipati pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan dengan gelar sultan Muhammad Syafeiuddin II. Beliau mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan diangkat sebagai putera Mahkota.

Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Muhammad Aryadiningrat. Sebelum manjabat sebagai raja, Putera Mahkota Raden Ahmad wafat mendahului ayahnya. Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Muhammad Mulia Ibrahim. Pada saat Raden Ahmad wafat, Sultan Muhammad Syafeiuddin II telah berkuasa selama 56 tahun. Beliau merasa sudah lanjut usia, maka dinobatkan Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai wakil raja dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin II.

Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, beliau wafat. Roda pemerintahan diserahkan kepada Sultan Muhammad Mulia Ibrahim. Dan pada masa pemerintahan raja inilah, bangsa Jepang datang ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim adalah salah seorang yang menjadi korban keganasan Jepang. Sejak saat itu berakhir pulalah kekuasaan Kerajaan Sambas. Sedangkan benda peninggalan Kerajaan Sambas antara lain tempat tidur raja, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran raja, payung ubur-ubur, tombak canggah, meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Cina dan kaca kristal dari negeri Belanda.

Sumber:

http://humassambas.com

Bahasa Melayu Sambas Masuk Mulok

Filed under: Uncategorized — Tags: , — jimmysie @ 6:40 am

Sambas–  Bahasa daerah, khususnya melayu Sambas, akan menjadi materi muatan lokal sekolah di Kabupaten Sambas. Dan untuk itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas telah melakukan loka karya Bahasa Daerah Sambas, di Balairung Sari Rumah Dinas Bupati Sambas. Loka karya digelar dalam rangka berlakunya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 mengenai standar isi untuk satuan dasar pendidikan dan menengah khususnya tentang Muatan Lokal Bahasa Daerah. Dalam loka karya tersebut materi yang diangkat adalah buku yang ditulis oleh Al ”Amruzi. MZ, dengan judul Tata Bahase Daerah Sambas. Peserta diikuti oleh tokoh budaya, tokoh masyarakat, kepala UPT Diknas, maupun kepala sekolah.

Pemerintah Kabupaten Sambas, menurut Bupati Sambas Ir H Burhanuddin A Rasyid, sangat menyambut baik gagasan tersebut. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati akar budayanya sendiri, salah satunya yakni bahasa. ”Kami sangat menyambut baik. Ia ini tentunya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kelestarian bahasa dan budaya Melayu Kabupaten Sambas,” ujar Bupati dalam suatu acara, kemarin.

Burhanuddin menegaskan bahwa masyarakat Kabupaten Sambas sudah seharusnya bangga terhadap udaya yang dimiliki sekarang. Karena lanjut Burhanuddin, budaya seperti acara pernikahan, khitanan dan budaya lainnya yang dimiliki bumi terigas ini justru mempunyai nilai positif dan plus, salah satunya dikarenakan tidak dimiliki semua daerah. ”Kita arus bangga budaya sendiri. Hal ini bukan sebagai bentuk menonjolkan rasa kedaerahan yang kental. Melainkan sebagai bentuk upaya dan langkah melestarikan budaya yang kita miliki,” paparnya.

Bupati memaparkan bahasa melayu Sambas memiliki ciri tersendiri dari bahasa melayu serumpun lain. Dan hal tersebut tegas dia harus menjadi ciri khas tersendiri. Antar desa satu dengan desa yang laiinya masih terdapat beberapa perbedaan yang semakin memperkaya khasanah budaya bahasa melayu Sambas. ”Salah satu ciri bahasa melayu Sambas adalah ada penyebutan kata yang penekanan pada hurufnya, yaitu ada huruf yang ganda,” ungkapnya.

Dicontohkannya, penyebutan kata besar, dimana dalam bahasa melayu Sambas disebut bassar. Yaitu ada huruf ganda pada kata bassar. Selain memasukkan bahasa daerah kedalam muatan lokal, Bupati juga mengharapkan diselenggarakannya kompetisi atau perlombaan yang garis besarnya menggunakan bahasa melayu Sambas. Hal tersebut jelas dia akan efektif untuk melestarikan bahasa daerah. ”Karena kita sangat mengkhawatirkan terjadi pengikisan pengetahuan tentang budaya sendiri. Terutama ancaman ini kita khawatirkan menyerang generasi muda sekarang ini” ingat dia.

Wakil Bupati Sambas, dr Hj Juliarti Alwi MPh, mengatakan pelestarian dan pengembangan bahasa daerah Sambas memang penting. Jelas dia, dengan memperhatikan masukan dari kalangan pendidik dan pemerhati bahasa, khususnya bahasa daerah Sambas, sudah selayaknya bahasa melayu Sambas diberlakukan sebagai mata pelajaran muatan lokal di tingkat SD atau madrasah Ibtidaiyah dan SMP sederajat. ”Dan Tidak menutup kemunkinan hingga jenjang SMA Sederajat. Hal ini merupakan keputusan strategis dan langkah nyata, karena masyarakat di daerah Sambas terdapat kemajemukan ragam budaya, bahasa, dan etnis, sehingga kita harus terbuka dan adaptif terhadap perbedaan dan menerima perubahan pada masa yang akan datang,” urainya.

Sumber : http://www.pontianakpost.com

Tenun Songket Sambas Mati Suri?

Filed under: Uncategorized — Tags: , — jimmysie @ 6:13 am

Oleh: Muhlis Suhaeri

Kemajuan peradaban dan teknologi memang bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, dia sungguh menguntungkan. Tapi di sisi lain, dia akan menggilas yang pernah hadir dan tak sanggup bertahan.

Demikian dengan berbagai produk dan kebudayaan di Nusantara. Yang terdiri dari beribu kepulauan, tentu saja menghasilkan berbagai jenis ragam dan produk budaya berbeda. Ambil satu contoh saja tradisi menenun. Hampir di sebagian besar wilayah Indonesia, ada kerajinan penghasil bahan sandang ini. Dan menjadi satu pertanyaan adalah, sanggupkah warisan budaya tersebut, bertahan menghadapi era globalisasi? Mari kita lihat salah satu faktanya.

Nama tenun ini sesuai dengan nama daerahnya, tenun songket atau tenun ikat Sambas. Kerajinan tenun, kian hari seolah kian terpuruk pusaran waktu. Betapa tidak, hasil kerajinan luar biasa bersahaja itu, seakan mati suri. Mati segan hidup pun enggan.

Pasalnya?
Salah satunya, sungguh sulit memasarkan barang kerajinan ini keluar daerah. Tidak itu saja. Proses produksi juga tersendat. Para pengrajin tersandung dengan pengadaan bahan baku. Benang semakin sulit diperoleh. Kalau pun ada, harganya cukup mahal. Tak itu saja. Sekarang ini susah mencari penenun. Mereka banyak hijrah dan mencari pekerjaan lain di Malaysia.

Alasannya cukup manusiawi. Penghasilan dari menenun, tidak menghasilkan cukup uang. Bahkan, banyak pula pengrajin di daerah ini, menjadi penenun di Brunei. Di sana lebih menjanjikan dari segi pendapatan.

Banyak lika-liku dialami para pengrajin. Padahal, ketrampilan memintal dan merajut benang menjadi kain itu, usianya sudah cukup lama.

“Kerajinan tenun songket Sambas usianya sudah ratusan tahun,“ kata Sahidah (60 tahun), pengrajin dari Dusun Manggis, Desa Tumuk Manggis, Sambas.

Sahidah sudah tiga generasi membuat tenun. Dia mewarisi selembar kain. Usia kain itu mencapai seratusan tahun.

Kini, di desanya tinggal 15 pengrajin saja. Itu pun yang aktif hanya 3 pengrajin. Artinya, pengrajin lain akan membuat kain, bila ada pesanan.

Apa yang menjadi motif dan ciri khas kain songket Sambas?
Orang Sambas biasa menyebutnya dengan suji bilang. Kain songket Sambas, selalu ada pucuk rebungnya. Pucuk rebung merupakan bambu muda. Motif itu bentuknya segi tiga, memanjang dan lancip.

Samidah juga mengembangkan motif sendiri. Motif itu dia adopsi dari berbagai tanaman mau pun hewan. Salah satu yang dia kembangkan adalah motif daun gali. Daun gali pipih dan memanjang bentuknya. Jenis tetumbuhan ini, banyak dijumpai di sekitar sungai Sambas.

Untuk membuat pola dan motif, harus teliti dan tidak asal menggambar. Ada perkaliannya. Biasanya motif itu digambar terlebih dahulu di kertas bergaris dan berkotak-kotak kecil. Bila motif salah mengambarnya, cara menempatkan benang akan salah. Padahal, salah menempatkan satu benang saja, bisa salah semua.

Tenun songket Sambas tidak bisa dipisahkan dengan benang emas. Benang emas itulah sebagai penanda motif. Jaman dulu, benang emas terbuat dari benang emas colok. Ciri dari benang ini ringan dan tahan lama. Warnanya pun tidak pudar, meski telah berusia ratusan tahun.

Pengrajin tidak bisa mendapatkan benang itu lagi. Sekarang ini, pengrajin menggunakan benang emas dari Jepang dan India. Benang dari Jepang cirinya tahan lama dan warnanya tidak pudar. Benang India kasar dan warnanya gampang berubah. Untuk mendapatkan benang, mesti memesan dari Jakarta.

Warna tenun songket Sambas cukup beragam. Biasanya warna cerah. Ada warna merah manggis, orange, warna paru (pink), hijau dan hitam. Peruntukannya, tentu saja untuk perempuan dan lelaki. Ukuran tenun songket untuk perempuan 200 cm kali 1,05 cm. Untuk lelaki, biasa disebut kain sabuk, ukurannya 150 cm kali 60 cm.

Harga kain untuk perempuan yang bagus sekitar Rp 1,5 juta perlembar. Bila pelanggan ingin motif lain, dan motifnya tidak ada di sana, mereka bisa memesan motifnya. Untuk itu, mereka harus rela merogoh kantungnya Rp 2 juta. Kain yang biasa seharga Rp 200.000. Untuk kain lelaki, yang bagus harganya Rp 750.000. Dan yang biasa Rp 150.000.

Bila motif itu sulit, cara pengerjaannya selama satu bulan. Untuk motif biasa saja, sekitar dua minggu. Pengrajin biasanya bekerja dari pukul 7 hingga pukul 17.00. Antara waktu itu, ada jeda dua jam beristirahat. Karyawan banyak juga membawa pekerjaannya ke rumah. Sekarang ini, Sahidah mempunyai 10 karyawan. Bayaran pekerja berfariasi. Untuk kain perempuan yang bagus, pekerja bisa mendapatkan Rp 500.000 perlembar. Dan untuk kain biasa sekitar Rp 50.000.

Proses dari pengerjaan tenun songket Sambas lumayan rumit. Diperlukan kesabaran dan ketelitian melakukannya. Pekerjaan membuat kain melalui beberapa tahap. Pertama, narraw atau memintal. Kedua, nganek, menggabungkan dari perumahan kolong benang ke anekan. Ketiga, nattar, menggulung benang dengan papan tandayan. Keempat, ngubung, menghubungkan benang dari tandayan ke suri (merapatkan benang). Kelima, menenun. Keenam, nyongket, membuat bunga dan memasukkan benang emas ke motif tenunan. Dari semua proses itu, nganek merupakan pekerjaan paling sulit. Bahkan, di kampung itu, tinggal satu orang saja sanggup mengerjakannya.

Sahidah punya obsesi melestarikan tenun ikat ini. Caranya, dia mendidik dan mengajari masyarakat setempat menenun. Belajar menenun membutuhkan waktu lumayan lama. Supaya mampu menenun dengan baik, sperlu waktu sekitar 2 tahunan. Tapi, hal itu juga tergantung dari kecerdasan dan kemampuan seseorang, dalam belajar dan menyerap ilmu yang diberikan.

Pemasaran kain Sambas hanya berputar di sekitar Sambas. Dalam sebulan paling banter, 4-5 lembar. Masyarakat menggunakan kain songket Sambas untuk seserahan, atau mas kawin bagi perkawinan, atau menghadiri sebuah prosesi adat. Mayoritas pembeli biasanya warga Sambas. Atau, orang Sambas yang bermukim di daerah lain, dan masih punya keterikatan budaya dengan Sambas. Pembeli juga datang dari Pontianak, Jakarta, Malaysia dan Brunei.

Contohnya, Dayang Nazariah (59 tahun) dari Pontianak. Ketika menikah, usianya 24 tahun. Sekarang ini, dia masih menyimpan kain seserahan atau antaran itu dengan baik. Warna mau pun kondisi kain masih bagus.

Nah, bagaimana supaya kain songket ini awet dan tahan lama? Perlu perlakuan khusus. Kain Sambas tidak boleh dicuci dan dikucek. Bisa dicuci dengan dry laundry. Kalau pun orang mau mencuci, boleh dibilas saja. Kain ini tidak boleh dijemur di bawah terik matahari langsung, karena warna dan moifnya akan cepat memudar dan rusak.

Cara menjemurnya hanya diangin-anginkan saja. Cara menyimpannya pun perlu perlakuan khusus. Dilipat dengan bagus dan rapi, lalu meletakkannya di lemari. Bila hal itu Anda lakukan, maka kain songket Sambas akan menemani, hingga beberapa generasi ke depan.

Sahidah berharap pemerintah ikut berperan dalam melestarikan tenun ikat ini. Caranya, mempertemukan pengrajin dengan pasar. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat pameran atau lainnya. Pemerintah musti memperhatikan industri kecil ini melalui kemudahan memperoleh kredit. Modal kecil membuatnya tak sanggup membeli benang langsung ke Jakarta.

Bila ke sana, dia harus membeli benang minimal 50 kg, supaya tidak tekor uang perjalanannya. Dia tentu saja tidak sanggup membeli benang sebesar itu. Membeli benang secara eceran, tentu saja membuatnya tersendat melakukan proses produksi.

Sahidah meminta pemerintah melindungi industri ini dari berbagai penjiplakan motif. Karenanya, pengrajin melalui Dekrenasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) sudah berusaha mengajukan 180 motif yang ada ke Disperindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan), Sambas. Nyatanya, yang diterima baru 5 buah dari 13 yang diajukan.

Ya, itulah berbagai kendala yang selalu menghinggapi para pengrajin tradisional. Jangan sampai kain Sambas nasibnya seperti tempe. Makanan asli Indonesia, tapi dipatenkan Jepang dan Amerika. Atau seperti nasib batik, yang telah dipatenkan Malaysia.

Well, bila tidak kita sendiri yang peduli, siapa lagi?***

Sumber:
Foto by Muhlis Suhaeri, “Tenun Songket Sambas.”
Edisi Cetak, minggu ketiga Desember 2006, Matra Bisnis

Blog at WordPress.com.